HOME About FriendsBiases Tutobies Request Rules My Skins
s

Bonjour All! Im all hiatus day, i hiatus segmen, tuto, freebies, others. But im very bucy in my school. Sori yeah friends. Thanks-WAFIA MULTAZIMA-UPGRADE: Tuesday,24 th March 2015-

The Sinopsis Of Book Ulysses Moore

Comments : 2

Hallo semuaaa!! Ada yang tau kisah menggetarkan Ulysses Moore? Siapa yang sukaaa??
Akuu!! Yapp aku penggemarnya.. Ceritanya itu getar-getir seru dan menegangkan. Sayangnya di perpus sekolah cuman 3: Pintu Waktu, Peta yang hilang, sama Rumah cermin..Ini dia beberapa sinopsis dan kutipan isi Ulysses Moore:
PINTU WAKTU
Jason dan Julia, sepasang anak kembar berumur 11 tahun, baru saja pindah dari London ke sebuah rumah besar yang ada di pesisir Inggris. Rumah baru mereka dipenuhi dengan terowongan-terowongan yang simpang siur dan perabotan-perabotan aneh dari segala penjuru dunia. Semuanya itu membuat mereka tidak sabar untuk segera menjelajahinya dan mengetahui semua rahasianya. Tak lama berada di rumah itu, Jason, Julia, dan teman mereka Rick, menemukan sebuah pintu misterius di balik sebuah lemari tua. Tapi, tidak ada satu pun kunci di rumah itu yang bisa membukanya. Ada apakah sebenarnya di balik pintu tersebut? Dan kenapa sepertinya ada orang lain yang sudah berusaha untuk membukanya tapi tak berhasil? Jason, Julia, dan Rick bertekad untuk memecahkan misteri ini, apa pun risikonya...

Ulysses Moore: Pintu Waktu merupakan buku yang sangat menarik untuk dibaca, apalagi untuk kamu yang gemar berpetualang dan suka untuk memecahkan misteri. Dengan ilustrasi-ilustrasi hitam putih yang unik, buku ini akan membuatmu terbawa ke dalam dunia Ulysses Moore yang penuh dengan misteri.

Kutipan isi buku Ulysses Moore: Pintu Waktu
Bab 1 
ARGO MANOR


Rumah itu tiba-tiba muncul dari balik tikungan. Menara batunya mencuat seperti jari yang menunjuk ke langit. Laut berwarna biru-kelabu menjadi latar belakang rumah yang besar itu.

“Wow,” Nyonya Covenant terperangah.

Di belakang kemudi mobil, suaminya hanya tersenyum. Dia mengarahkan mobilnya memasuki gerbang besi yang berdiri angker – sepertinya dibuka khusus untuk menyambut kedatangan mereka, tebak Tuan Covenant – dan memarkir mobilnya di halaman.

Nyonya Covenant keluar dari mobil diiringi gemeretak kerikil putih yang terinjak di bawah kakinya. Ia mengerjapkan mata dan terpana, sambil menyentuhkan jari-jemarinya ke bibir seolah-olah belum yakin dengan apa yang dilihatnya.

Rumah itu bertengger di atas sebuah tebing tinggi yang menghadap ke laut. Jauh di bawah tebing, ombak berdebur menghantam karang. Udara terasa tajam dan asin.

Rumah itu dikepung birunya laut dan langit, membuatnya seolah-olah akan ditelan oleh alam sekitar. Deretan pepohonan berdiri rapi di setiap sisinya, diselingi oleh bunga-bunga berbagai warna. Dari tepi tebing, pantai berpasir di bawah sana hampir tak terlihat. Lebih jauh lagi, terlihat teluk Kilmore Cove yang dikelilingi oleh sebuah kota dengan rumah-rumah yang dibangun berdekatan dengan laut. Setiap rumah, setiap orang, seluruh kota – seakan terpusat pada keindahan laut itu.

Saat berdiri di halaman dengan mata berkedap-kedip penuh rasa takjub, Nyonya Covenant didekati oleh seorang laki-laki tua. Wajahnya dihiasi keriput yang terlihat jelas dan janggut putih yang terpangkas rapi.

Dengan tatapan yang dalam dan penuh selidik, laki-laki itu berkata, “Nama saya Nestor, saya adalah pengurus di Argo Manor ini.”

Jadi itu nama rumah ini: Argo Manor. Aneh sekali, pikir Nyonya Covenant. Sementara itu, pengurus rumah mulai berjalan terpincang-pincang ke arah rumah. Ia memimpin pasangan suami istri itu ke sebuah teras berukir yang menawarkan pemandangan menakjubkan ke arah laut di bawah sana.

“Apa kau yakin kita tidak salah?” Nyonya Covenant bertanya ragu-ragu. Tangannya mengusap-usap dinding Argo Manor seakan-akan ingin meyakinkan dirinya bahwa rumah itu nyata dan semua ini bukanlah sekadar mimpi indah belaka.

Tuan Covenant memegang tangan istrinya. Reaksi sang istri saat melihat tempat ini membuatnya gembira. Istrinya sudah jatuh hati padahal mereka belum melangkah ke dalam! “Sekarang bersiap-siaplah,” Tuan Covenant berbisik di telinga istrinya.

Bagian dalam Argo Manor bahkan lebih menakjubkan daripada bagian luarnya. Nestor menyeret mereka dalam sebuah tur kilat mengelilingi Argo Manor, meluncur masuk dan keluar ruangan, membuka pintu-pintu, menyibakkan tirai-tirai, kemudian cepat-cepat memandu suami istri Covenant ke ruangan berikutnya. Rumah itu tua, namun memiliki… karakter. Ya, itulah kata yang tepat, pikir Nyonya Covenant. Karakter, seolah-olah rumah itu merupakan makhluk hidup dan bukan sekadar rumah dari batu dan kayu.

Perabotannya merupakan paduan aneh dari berbagai gaya, yang tampaknya berasal dari seluruh penjuru dunia: sebuah vas Mesir, sebuah meja Venesia, permadani-permadani Persia, sampai sebuah lukisan dari Hudson River School. Namun, entah bagaimana semuanya terlihat serasi. Setiap benda terlihat pantas berada di rumah itu.

“Katakan padaku semua ini nyata,” gumam Nyonya Covenant pada suaminya. “Semua ini milik kita? Katakan padaku aku tak bermimpi.”

Tuan Covenant meremas tangan istrinya. “Semua ini nyata, Sayang,” jawabnya. “Selamat datang di rumah barumu.”

Pengurus rumah membimbing mereka menuju sebuah ruang duduk mewah yang memiliki langit-langit kuno dengan balok-balok penyangga yang dibiarkan tak tertutup. Dinding-dindingnya terbuat dari batu. Ruang itu dihubungkan oleh sebuah lorong kecil dengan langit-langit melengkung. Di seberang ruangan terdapat sebuah pintu lain – pintu dari kayu berwarna gelap yang terpasang pada dinding di sisi yang jauh.

“Ini adalah salah satu ruangan yang paling tua,” kata Nestor sambil tersenyum puas. “Pemilik sebelumnya, Tuan Ulysses Moore, sangat perhatian terhadap hal-hal tertentu. Beliau bersikeras ruangan-ruangan di rumah ini tidak ada yang boleh diubah. Memang, waktu akhirnya mengubah segalanya. Dulu pernah ada menara abad pertengahan di rumah ini, tapi kemudian hancur oleh badai. Satu-satunya perubahan yang diizinkan Tuan Moore adalah menyegel jendela-jendela yang tidak cukup rapat untuk menahan embusan angin dan, tentu saja, memasang kabel listrik. Walaupun, harus kuakui,” Nestor menambahkan, “kami masih tetap bermasalah dengan embusan angin.”

“Jason pasti akan menyukai tempat ini,” kata Tuan Covenant.

Istrinya tidak menanggapi. Pikirannya tertuju pada putrinya, Julia.

“Ada dua anak, bukan begitu?” tanya pengurus rumah.

“Ya. Seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Keduanya sebelas tahun,” jawab Nyonya Covenant. “Anak kembar.”

Mata Nestor bersinar. “Dan saya yakin mereka anak-anak yang ceria dan penuh semangat! Betapa bahagianya nanti mereka di sini,” katanya. “Jangan mengkhawatirkan mereka, Nyonya. Rumah ini mungkin terisolasi dari rumah-rumah lain, tapi rumah ini menawarkan banyak hal menarik untuk anak-anak yang gemar bertualang.”

“Oh, benar sekali, mereka memang gemar bertualang,” jawab Nyonya Covenant sambil tersenyum. Ia tak mengkhawatirkan Jason. Putranya itu memiliki daya imajinasi yang hebat dan Nyonya Covenant tahu kalau Jason akan langsung merasakan keajaiban tempat ini. Tapi Julia berbeda. Ia seorang gadis kota yang menikmati hiruk-pikuk kehidupan kota: kebisingan, kesibukan yang luar biasa, wajah-wajah yang berseliweran, dan beragam budaya.

Tuan Covenant tampaknya bisa membaca pikiran istrinya. “Mereka akan baik-baik saja,” kata Tuan Covenant meyakinkan. “Termasuk Julia. Kehidupan di sini akan baik untuk mereka berdua.”

Nyonya Covenant mengangguk. “Ya, tentu saja,” ucapnya pada Nestor. “Si kembar akan merasa sangat senang.”

“Sempurna,” desis Nestor, mengusap-usap janggutnya. “Sempurna sekali. Jadi kita sepakat?” Ia pun mengulurkan tangannya untuk menjabat Tuan Covenant.

Tuan Covenant menjelaskan pada istrinya bahwa pemilik rumah sebelumnya, Ulysses Moore, adalah orang yang eksentrik; seorang laki-laki tua dengan ide-ide aneh. Ia telah berpesan agar rumah itu disewakan hanya kepada keluarga muda yang setidaknya memiliki dua orang anak.

Nestor mengangguk membenarkan. “Ia menginginkan rumah ini selalu ramai dan hidup,” jelas sang pengurus rumah . “Tuan Moore percaya bahwa sebuah rumah tanpa suara anak-anak sama saja seperti orang mati.”

Ia berjalan memimpin suami-istri itu kembali ke luar ruangan. Sebelum Nyonya Covenant melangkah keluar, sesuatu membuatnya berhenti di bawah lorong yang langit-langitnya melengkung. Nyonya Covenant membalikkan badannya dan mengamati pintu di dinding sebelah timur dengan lebih saksama. Kayu pintu itu terlihat gosong di beberapa tempat, seakan-akan pintu itu pernah selamat dari kebakaran. Di bagian yang lain terlihat banyak goresan, mulai dari parutan dangkal sampai bekas bacokan yang dalam. Seolah-olah – mungkinkah? – seseorang pernah mengampak pintu itu dengan penuh kemarahan.

“Apa yang terjadi pada pintu itu?” tanya Nyonya Covenant.

Nestor berhenti, tatapannya beralih dari pintu ke arah Nyonya Covenant, lalu menggelengkan kepalanya.

“Ah, maafkan saya,” jawabnya. “Itu perintah Tuan Moore. Pintu itu seharusnya sudah sejak lama diganti. Anggap saja pintu itu tidak ada.” Ia berjalan mendekati pintu itu, menyilangkan lengan-lengannya, dan menatap pintu itu seperti menatap musuh lamanya. “Pintu tua ini sudah mengalami banyak hal. Dulu sekali kunci-kunci untuk membukanya, em, hilang. Anda lihat keempat lubang ini? Tuan Moore percaya lubang-lubang ini adalah lubang kunci. Ia mencoba membukanya dengan semua cara yang bisa dilakukan, tapi tidak ada gunanya. Pintu ini,” Nestor menegaskan, “telah tertutup untuk selamanya.”

“Pintu itu menuju ke mana?” tanya Tuan Covenant penasaran.

Sang pengurus rumah mengangkat bahu. “Siapa yang tahu? Bagiku itu misteri. Rumah tua ini penuh rahasia. Mungkin dulu pintu ini adalah jalan pintas menuju tangki air tua, tapi tangki itu saja sekarang sudah tak ada lagi.” Ia menatap pintu itu sambil berpikir, “Pintu ini tidak ada fungsinya.”

Dengan lembut Nyonya Covenant mengusapkan tangannya menyusuri kayu pintu yang hangus dan tergores-gores itu. Timbul rasa cemas di hatinya. “Mungkin kita harus meletakkan sesuatu di depannya,” katanya sambil berbalik dan menatap suaminya. “Aku tak mau anak-anak nanti mencoba membukanya.”

“Ide bagus,” Nestor cepat-cepat menyetujuinya seraya berjalan terpincang-pincang ke luar ruangan itu. “Itu yang terbaik untuk dilakukan. Jangan sampai anak-anak punya gagasan untuk mencoba-coba membukanya.

PETA YANG HILANG
Jason, Julia, dan Rick telah melintasi Pintu Waktu menuju Mesir Kuno, dunia yang penuh dengan labirin, teka-teki, dan rahasia. Tapi, ketika lorong yang menghubungkan kedua dunia tersebut runtuh, Julia pun kembali ke rumah, ke masa kini – dan pintu di belakangnya tertutup rapat.

Kini Rick dan Jason terperangkap di masa lalu, dan hanya ada satu cara untuk kembali ke Argo Manor, yaitu mencari peta Kilmore Cove yang telah lama hilang. Dan untuk itu, mereka harus kembali memecahkan teka-teki yang ditinggalkan oleh Ulysses Moore yang misterius. Bisakah mereka menjadi yang pertama menemukannya?

Kutipan isi
Cahaya dari menara Argo Manor berkedip-kedip dan terlihat pudar di tengah badai. Seperti petinju yang kelelahan di ronde-ronde terakhir pertarungan, cahaya itu seperti berjuang melawan malam, tak kuat menghadapi serangan gencar angin dan hujan. Angin kencang menggoyangkan pohon-pohon tinggi seperti menggoyangkan sehelai rumput saja. Krak, bum! Sebuah dahan pohon yang besar patah dan jatuh ke tanah. Jauh di bawah, di sepanjang garis pantai, ombak bergulung-gulung memukul karang.

Di dalam rumah besar itu, Nestor memeriksa dan memeriksa kembali jendela-jendela dan pintu-pintu. Dia berjalan terpincang-pincang dari satu ruangan ke ruangan lain, bergerak dalam kegelapan di antara perabotan kuno di rumah itu. Dia hafal Argo Manor di luar kepala, seolah-olah dia membawa peta rahasia tempat itu, dan dengan mudah menemukan jalan di antara kursi-kursi berbantalan tebal, meja-meja tulis, meja-meja kopi, patung-patung Mesir, dan barang-barang peninggalan dari benua-benua yang hilang. Kepalanya otomatis menunduk sebelum lewat di bawah tempat lilin gantung dari Venesia, di ruang duduk. Setelah bertahun-tahun mengabdi dengan setia, pengetahuan Nestor tentang setiap sudut gelap di rumah tersebut telah mendekati sempurna.

Setelah melewati tangga, Nestor sampai di serambi bertiang di bagian depan rumah dan berhenti di depan jendela kaca yang besar. Sambil menatap kebun yang basah kuyup diguyur hujan, dia bersandar di dasar sebuah patung wanita yang sedang memperbaiki jaring ikan. Diterangi cahaya kilat menyeramkan yang sesekali masuk melalui jendela, wanita nelayan itu hampir-hampir tampak hidup.

Nestor menggosokkan kedua telapak tangannya dengan cepat. Dia menaiki tangga, melewati deretan panjang lukisan para pemilik rumah terdahulu, dan memasuki ruang menara. Matanya dengan cepat memastikan keberadaan buku-buku catatan dan kapal-kapal model, lalu dia kembali ke lantai bawah. Semuanya masih seperti sediakala, semua barang berada di tempatnya. Sebuah buku catatan hilang, tentu saja, tapi Nestor menganggapnya sebagai pertanda baik.

Dia akhirnya tiba di ruang batu yang besar dan menyalakan lampu. Di lantai bertebaran pensil dan lembaran kertas, tepat di tempat Jason, Julia dan Rick meninggalkannya setelah sepanjang sore mencoba memecahkan teka-teki empat kunci.

Owl. Porcupine. Elephant. Newt.Jadi begitulah, pikirnya. Mereka telah berhasil membuka pintu...
Nestor menatap pintu yang berat itu. Kayu tuanya tampak hangus dan tergores di sana-sini. Dan kini pintu itu terkunci lagi. Tertutup sekali lagi. Tidak mungkin memasukinya dari sini. Dia tahu benar itu. Tak ada yang bisa dilakukan kecuali menunggu.

“Mudah-mudahan mereka selamat,” pengurus rumah itu berbisik keras, tangannya menyusuri kayu pintu misterius itu. Dia melirik arlojinya. Jarum-jarumnya yang panjang dan ramping dengan anggun melintasi waktu dalam sebuah lingkaran sempurna. “Mereka pasti sudah berada di sana sekarang,” tebaknya. Dia menggertakkan giginya dengan gelisah.

“Sudah dimulai.”
RUMAH CERMIN
SEMUA orang di Kilmore Cove menyembunyikan sesuatu. Itu yang disadari oleh Jason, Rick, dan Julia saat mereka pertama kali mendengar tentang Rumah Cermin dan penciptanya, seorang penemu eksentrik bernama Peter Dedalus. Teman dekat Ulysses Moore ini telah menghilang selama bertahun-tahun. Tapi sebelum menghilang, dia mengungkap sebuah rahasia berbahaya mengenai Pintu Waktu yang menakjubkan di dalam rumahnya. Kini semua tergantung pada Jason, Rick dan Julia untuk beradu kecerdikan dengan penemu misterius itu serta membongkar rahasianya ? sebelum Obliva Newton mendahului mereka...

Kutipan isi

Begitu sarapan selesai, Rick berjalan ke pinggir tebing. Dia memandang lautan, merasakan embusan angin semilir di rambutnya. Julia, yang tadi kembali ke kamarnya untuk berpakaian dengan layak, kembali dengan membawa keempat kunci, masing-masing berbentuk seekor hewan. Dia mendapati Jason masih duduk di kursi yang sama sejak dia meninggalkannya ke kamar. Anak itu tampak tenggelam dalam pikirannya. Pulpen dan kertas tergeletak di depannya di atas meja.

“Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” dia mengakui.

Julia berdiri di samping saudaranya, membaca dari atas bahunya. “Apakah kita tahu di mana Oblivia Newton tinggal?” dia bertanya.

Rick bergabung dengan mereka di meja teras. “Hei, teman-teman. Ada dua kapal nelayan mendekat ke pelabuhan,” katanya. “Kita bisa naik sepeda ke dermaga di bawah sana dan memilih udang segar untuk makan malam. Ada yang berminat?”

Jason menggeleng. Pikirannya berada di tempat lain. “Rick, kau tahu di mana tempat tinggal Oblivia?”

“Sama sekali tidak tahu,” Rick menjawab.

Jason bersandar di kursinya, menyusurkan tangan di rambutnya. “Ini yang aku dapatkan sampai sejauh ini,” dia mengumumkan, lalu menyorongkan kertas itu kepada Rick. 

1.
 Mengambil kembali peta dari Oblivia.
2. 
Mencari tahu isi peta ? bahkan sebelum menemukannya!
3. 
Pelajari SEMUA hal yang perlu diketahui tentang Pintu Waktu.
4. 
Menggeledah seluruh Argo Manor, dari atas ke bawah. 

“Lebih mudah dikatakan daripada dikerjakan,” ujar Rick, mengembalikan daftar tersebut kepada Jason. Rick mendudukkan diri di kursi. “Jadi apa rencananya?”

“Kita harus melakukan semua ini,” kata Jason, “dalam satu hari.”

“Kenapa harus buru-buru?” Julia penasaran.

“Ibu dan Ayah akan kembali malam ini,” Jason mengingatkan teman-temannya. “Rick harus pulang ke rumah.”

Wajah bocah Kilmore Cove itu mendadak gelap. Dia tidak ingin pulang ke rumah. Jangan sekarang. Belum waktunya.




PULAU TOPENG
JASON, JULIA, DAN RICK TAHU BAHWA penemu terkenal Kilmore Cove, Peter Dedalus, tahu cara untuk menyingkap misteri Pintu Waktu. Ini adalah sebuah rahasia yang begitu berbahaya sehingga dia hanya bisa enyembunyikannya di masa lalu.

Sebuah runtutan petunjuk dan kode yang luar biasa membawa anak-anak ke Venesia abad ke18, kota di mana penemuan Dedalus bertebaran di segala penjuru. Tapi sang penemu tampaknya telah melebur ke dalam dunia topeng dan bayang-bayang Venesia. Ada banyak teka-teki yang harus dipecahkan sebelum bisa menemukan Peter. Dan Jason, Rick, serta Julia bukan satu-satunya yang berusaha menemukan dia...







PENJAGA BATU
Dalam buku Ulysses Moore kelima ini, Jason, Julia, dan Rick melanjutkan petualangan mereka untuk memecahkan misteri Kilmore Cove. Misi utama mereka kali ini adalah mencari sang mantan kepala stasiun, Black Volcano, yang dipercaya memegang Kunci Utama untuk membuka semua Pintu Waktu. Namun, setelah orang tua mereka tiba, Jason dan Julia tidak bisa lagi keluar rumah dengan mudah. Selain itu, Oblivia dan supirnya, Manfred juga mengincar Kunci Utama tersebut.








Hanya 5 edisi dari 12 edisi yang diterjemahkan(katanya)... Nah aku masih kepo  dengan 2 edisi: Pulau Topeng sama Penjaga Batu. Aku usahakan menyisakan uang jajan untuk membelinya.
Oke byeee.. :D


2 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...